Jumat, 24 Juli 2020

MAKALAH PRIVATISASI-MATA KULIAH BISNIS INTERNASIONAL


MAKALAH
PRIVATISASI

1.      Pengertian Privatisasi
Beberapa pakar bahkan mendefinisi privatisasi dalam arti luas, seperti J.A. Kay dan D.J. Thomson sebagai “…means of changing relationship between the government and private sector”. Mereka mendefinisikan privatisasi sebagai cara untuk mengubah hubungan antara pemerintah dan sektor swasta. Sedangkan pengertian privatisasi dalam arti yang lebih sempit dikemukakan oleh C. Pas, B. Lowes, dan L. Davies yang mengertikan privatisasi sebagai denasionalisasi suatu industri, mengubahnya dari kepemilikan pemerintah menjadi kepemilikan swasta.
Istilah privatisasi sering diartikan sebagai pemindahan kepemilikan industri dari pemerintah ke sektor swasta yang berimplikasi kepada dominasi kepemilikan saham akan berpindah ke pemegang saham swasta. Privatisasi adalah suatu terminologi yang mencakup perubahan hubungan antara pemerintah dengan sektor swasta, dimana perubahan yang paling signifikan adalah adanya disnasionalisasi penjualan kepemilikan publik.
Dari berbagai definisi di atas, dapat diperoleh pengertian bahwa privatisasi adalah pengalihan aset yang sebelumnya dikuasai oleh negara menjadi milik swasta. Pengertian ini sesuai dengan yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN, yaitu penjualan saham persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat.
2.      Tujuan Privatisasi
a)      Dari Segi Keuangan
Privatisasi ditujukan untuk meningkatkan penghasilan pemerintah terutama berkaitan dengan tingkat perpajakan dan pengeluaran publik; mendorong keuangan swasta untuk ditempatkan dalam investasi publik dalam skema infrastruktur utama; menghapus jasa-jasa dari kontrol keuangan sektor publik.
b)     Dari Segi Pembenahan Internal Manajemen (jasa dan organisasi)
Ø  Meningkatkan efisiensi dan produktivitas;
Ø  Mengurangi peran negara dalam pembuatan keputusan;
Ø  Mendorong penetapan harga komersial, organisasi yang berorientasi pada keuntungan dan perilaku bisnis yang menguntungkan;
Ø  Meningkatkan pilihan bagi konsumen.
c)      Dari Segi Ekonomi
Ø  Memperluas kekuatan pasar dan meningkatkan persaingan;
Ø  Mengurangi ukuran sektor publik dan membuka pasar baru untuk modal swasta.
d)     Dari Segi Politik 
1.      Mengendalikan kekuatan asosiasi/perkumpulan bidang usaha bisnis tertentu dan memperbaiki pasar tenaga kerja agar lebih fleksibel;
2.      Mendorong kepemilikan saham untuk individu dan karyawan serta memperluas kepemilikan kekayaan;
3.      Memperoleh dukungan politik dengan memenuhi permintaan industri dan menciptakan kesempatan lebih banyak akumulasi modal spekulasi;
4.      Meningkatkan kemandirian dan individualisme.
Adapun tujuan pelaksanaan privatisasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 74 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN adalah meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemilikan saham Persero. Penerbitan peraturan perundangan tentang BUMN dimaksudkan untuk memperjelas landasan hukum dan menjadi pedoman bagi berbagai pemangku kepentingan yang terkait serta sekaligus merupakan upaya untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas BUMN.
Privatisasi bukan semata-mata kebijakan final, namun merupakan suatu metode regulasi untuk mengatur aktivitas ekonomi sesuai mekanisme pasar. Kebijakan privatisasi dianggap dapat membantu pemerintah dalam menopang penerimaan negara dan menutupi defisit APBN sekaligus menjadikan BUMN lebih efisien dan profitable dengan melibatkan pihak swasta di dalam pengelolaannya sehingga membuka pintu bagi persaingan yang sehat dalam perekonomian.
3.      Metode Privatisasi
a)      Penawaran saham BUMN kepada umum (public offering of shares).
 Penawaran ini dapat dilakukan secara parsial maupun secara penuh. Di dalam transaksi ini, pemerintah menjual sebagian atau seluruh saham kepemilikannya atas BUMN yang diasumsikan akan tetap beroperasi dan menjadi perusahaan publik. Seandainya pemerintah hanya menjual sebagian sahamnya, maka status BUMN itu berubah menjadi perusahaan patungan pemerintah dan swasta. Pendekatan semacam ini dilakukan oleh pemerintah agar mereka masih dapat mengawasi keadaan manajemen BUMN patungan tersebut sebelum kelak diserahkan sepenuhnya kepada swasta.
b)     Penjualan saham BUMN kepada pihak swasta tertentu (private sale of share). 
Di dalam transaksi ini, pemerintah menjual seluruh ataupun sebagian saham kepemilikannya di BUMN kepada pembeli tunggal yang telah diidentifikasikan atau kepada pembeli dalam bentuk kelompok tertentu. Privatisasi dapat dilakukan penuh atau secara sebagian dengan kepemilikan campuran. Transaksinya dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti akuisisi langsung oleh perusahaan lain atau ditawarkan kepada kelompok tertentu. Cara ini juga sering disebut sebagai penjualan strategis (strategic sale) dan pembelinya disebut invenstor strategis.
c)      Penjualan aktiva BUMN kepada swasta (sale of government organization state-owned enterprise assets).
 Pada metode ini, pada dasarnya transaksi adalah penjualan aktiva, bukan penjualan perusahaan dalam keadaan tetap beroperasi. Biasanya jika tujuannya adalah untuk memisahkan aktiva untuk kegiatan tertentu, penjualan aktiva secara terpisah hanya alat untuk penjualan perusahaan secara keseluruhan.
d)     Penambahan investasi baru dari sektor swasta ke dalam BUMN (new private investment in an state-owned enterprise assets). 
Pada metode ini, pemerintah dapat menambah modal pada BUMN untuk keperluan rehabilitasi atau ekspansi dengan memberikan kesempatan kepada sektor swasta untuk menambah modal. Dalam metode ini, pemerintah sama sekali tidak melepas kepemilikannya, tetapi dengan tambahan modal swasta, maka kepemilikan pemerintah mengalami dilusi (pengikisan). Dengan demikian, BUMN itu berubah menjadi perusahaan patungan swasta dengan pemerintah. Apabila pemilik saham mayoritasnya adalah swasta, maka BUMN itu telah berubah statusnya menjadi milik swasta.
e)      Pembelian BUMN oleh manajemen atau karyawan (management/employee buy out).
 Metode ini dilakukan dengan memberikan hak kepada manajemen atau karyawan perusahaan untuk mengambil alih kekuasaan atau pengendalian perusahaan. Keadaan ini biasanya terkait dengan perusahaan yang semestinya dapat efektif dikelola oleh sebuah manjemen, namun karena campur tangan pemerintah membuat kinerja tidak optimal.
Dari beberapa cara tersebut, UU Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN di dalam pasal 78 hanya membolehkan tiga cara dalam privatisasi yakni :
ü  Penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal.
ü  Penjualan saham langsung kepada investor.
ü  Penjualan saham kepada manajemen dan/atau karyawan yang bersangkutan.
4.      Pro-Kontra Mengenai Privatisasi
Sebagai sebuah kebijakan yang menyangkut kepentingan publik, program privatisasi masih disikapi secara pro dan kontra. Berikut ini akan diuraikan mengenai alasan-alasan yang menyebabkan terjadinya pro dan kontra tersebut.
5.      Alasan-Alasan Yang Mendukung Privatisasi
a)      Peningkatan efisiensi, kinerja dan produktivitas perusahaan yang diprivatisasi
BUMN sering dilihat sebagai sosok unit pekerja yang tidak efisien, boros, tidak professional dengan kinerja yang tidak optimal, dan penilaian-penilaian negatif lainnya. Beberapa faktor yang sering dianggap sebagai penyebabnya adalah kurangnya atau bahkan tidak adanya persaingan di pasar produk sebagai akibat proteksi pemerintah atau hak monopoli yang dimiliki oleh BUMN. tidak adanya persaingan ini mengakibatkan rendahnya efisiensi BUMN.
Hal ini akan berbeda jika perusahaan itu diprivatisasi dan pada saat yang bersamaan didukung dengan peningkatan persaingan efektif di sektor yang bersangkutan, semisal meniadakan proteksi perusahaan yang diprivatisasi. Dengan adanya disiplin persaingan pasar akan memaksa perusahaan untuk lebih efisien.
Pembebasan kendali dari pemerintah juga memungkinkan perusahaan tersebut lebih kompetitif untuk menghasilkan produk dan jasa bahkan dengan kualitas yang lebih baik dan sesuai dengan konsumen. Selanjutnya akan membuat penggunaan sumber daya lebih efisien dan meningkatkan output ekonomi secara keseluruhan.
b)     Mendorong perkembangan pasar modal
Privatisasi yang berarti menjual perusahaan negara kepada swasta dapat membantu terciptanya perluasan kepemilikan saham, sehingga diharapkan akan berimplikasi pada perbaikan distribusi pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Privatisasi juga dapat mendorong perusahaan baru yang masuk ke pasar modal dan reksadana. Selain itu, privatisasi BUMN dan infrastruktur ekonomi dapat mengurangi defisit dan tekanan inflasi yang selanjutnya mendukung perkembangan pasar modal.
c)      Meningkatkan pendapatan baru bagi pemerintah
Secara umum, privatisasi dapat mendatangkan pemasukan bagi pemerintah yang berasal dari penjualan saham BUMN. Selain itu, privatisasi dapat mengurangi subsidi pemerintah yang ditujukan kepada BUMN yang bersangkutan. Juga dapat meningkatkan penerimaan pajak dari perusahaan yang beroperasi lebih produktif dengan laba yang lebih tinggi. Dengan demikian, privatisasi dapat menolong untuk menjaga keseimbangan anggaran pemerintah sekaligus mengatasi tekanan inflasi.
6.      Alasan-Alasan Yang Menolak Program Privatisasi
Beberapa alasan yang diajukan oleh pihak yang mendukung program privatisasi sebagaimana telah dipaparkan di atas, dinilai tidak tepat oleh pihak-pihak yang kontra. Alasan bahwa privatisasi bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan kinerja perusahaan yang diprivatisasi dianggap tidak sesuai dengan fakta. Sebab jika itu yang menjadi motifnya, maka seharusnya yang diprivatisasi adalah perusahaan-perusahaan yang tidak efisien, produktivitasnya rendah dan kinerjanya payah. Sehingga dengan diprivatisasi, diharapkan perusahaan tersebut berubah menjadi lebih efisien, produktivitasnya meningkat, dan kinerjanya menjadi lebih bagus. Padahal, pada kenyatannya yang diprivatisasi adalah perusahaan yang sehat dan efisien. Jika ada perusahaan negara yang merugi dan tidak efisien, biasanya disehatkan terlebih dahulu sehingga menjadi sehat dan mencapai profit, dan setelah itu baru kemudian dijual.
Alasan untuk meningkatkan pendapatan negara juga tidak bisa diterima. Memang ketika terjadi penjualan aset-aset BUMN itu negara mendapatkan pemasukan. Namun sebagaimana layaknya penjualan, penerimaan pendapatan itu diiringi dengan kehilangan pemilikan aset-aset tersebut. Ini berarti negara akan kehilangan salah satu sumber pendapatannya. Akan menjadi lebih berbahaya jika ternyata pembelinya dari perusahaan asing. Meskipun pabriknya masih berkedudukan di Indonesia, namun hak atas segala informasi dan bagian dari modal menjadi milik perusahaan asing.
7.      Dampak Privatisasi kebablasan di Indonesia
Hal ini terbatas pada keuntungan ekonomi dan politik. Dengan pengalihan kepemilikan, salah satu alternatif yaitu dengan pelepasan saham kepada rakyat dan karyawan BUMN yang bersangkutan dapat ikut melakukan kontrol dan lebih memotivasi kerja para karyawan karena merasa ikut memilki dan lebih semangat untuk berpartisipasi dalam rangka meningkatkan kinerja BUMN yang sehat. Hal ini dapat berdampak pada peningkatan produktivitas karyawan yang berujung pada kenaikan keuntungan.
Privatisasi BUMN di Indonesia mulai dicanangkan pemerintah sejak tahun 1980-an. BUMN-BUMN yang telah diprivatisasi seperti PT. Telkom (Persero) Tbk., PT. Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk., PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk., PT. Bank BNI 46 (Persero) Tbk., PT. Indosat (Persero) Tbk., PT. Aneka Tambang (Persero) Tbk., dan PT. Semen Gresik (Persero) Tbk., ternyata mampu membrikan kontribusi yang signifikan terhadap likuiditas dan pergerakan pasar modal.[16] Kondisi ini membuat semakin kuatnya dorongan untuk melakukan privatisasi secara lebih luas kepada BUMN-BUMN lainnya. Namun demikian, diketahui pula bahwa terdapat beberapa BUMN yang tidak menunjukkan perbaikan kinerja terutama 2-3 tahun pertama setelah diprivatisasi, misalkan pada PT. Indofarma (Persero) Tbk. dan PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Dimana target privatisasi BUMN masih belum tercapai sepenuhnya.
8.      Kondisi Ideal Untuk Melakukan Privatisasi di Indonesia
Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 ayat (1), maka sistem ekonomi yang dianut Indonesia adalah sistem ekonomi yang berdasar atas asas kekeluargaan. Konsep sistem ekonomi yang demikian di Indonesia disebut sebagai konsep Demokrasi Ekonomi. Mubyarto menyebutkan bahwa dalam konsep demokrasi ekonomi, sistem ekonomi tidak diatur oleh negara melalui perencanaan sentral (sosialisme), akan tetapi dilaksanakan oleh, dari, dan untuk rakyat. Demokrasi ekonomi mengutamakan terwujudnya kemakmuran masyarakat (bersama) bukan kemakmuran individu-individu. Demokrasi ekonomi mengartikan masyarakat harus ikut dalam seluruh proses produksi dan turut menikmati hasil-hasil produksi yang dijalankan di Indonesia.
Praktik privatisasi BUMN yang belakangan marak dilakukan oleh pemerintah Indonesia dianggap sebagai jalan keluar yang paling baik untuk melaksanakan amanat demokrasi ekonomi untuk menyehatkan BUMN-BUMN di Indonesia dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Pada beberapa BUMN, ada yang diprivatisasi oleh pihak asing, bahkan dalam jumlah kepemilikan saham yang cukup signfikan.Privatisasi BUMN kepada pihak asing ini dinilai “menggadaikan” nasionalisme Indonesia. Selain itu, BUMN tidak lain adalah pihak yang diberikan wewenang khusus untuk mengelola sumber daya vital yang meemgang hajat hidup orang banyak. Menurut Pasal 33 UUD 1945, sumber daya yang seperti demikian itu harus dikelola oleh negara.
Dilihat dari sudut pandang Pasal 33 UUD 1945, tampak bahwa sebenarnya privatisasi BUMN kepada pihak asing agak kontradiktif dengan jiwa pasal ini. Pihak asing yang bersangkutan jelas bertindak atas nama swasta yang tentu saja bertindak dengan didorong oleh maksud dan motif hanya untuk mencari keuntungan yang maksimal. Jika demikian yang terjadi, BUMN yang diprivatisasi kepada pihak asing hanya akan menjadi keuntungan bagi pihak asing, sehingga dapat dikatakan manfaatnya akan berpindah kepada pihak asing, bukannya ke rakyat Indonesia.
Diantara sekian banyak alternatif metode privatisasi, yang paling sering digunakan antara lain adalah penawaran saham BUMN kepada umum (public offering of shares) yaitu privatisasi dengan melakukan penjualan saham kepada pihak swasta melalui pasar modal, penjualan saham BUMN kepada pihak swasta tertentu (private sale of share) yaitu penjualan saham BUMN kepada satu atau sekelompok investor swasta, dan melalui pembelian BUMN oleh manajemen atau karyawan (management/employee buy out) yaitu penjualan saham BUMN kepada pihak karyawan atau manajemen BUMN.
Pilihan model privatisasi mana yang sesuai dengan iklim perekonomian, politik dan sosial budaya Indonesia haruslah mempertimbangkan faktor-faktor  :
·         Ukuran nilai privatisasi ;
·         Kondisi kesehatan keuangan tiga tahun terakhir ;
·         Waktu yang tersedia bagi BUMN untuk melakukan privatisasi ;
·         Ko            ndisi pasar ;
·         Status perusahaan, apakah telah go public atau belum ; dan
·         Rencana jangka panjang masing-masing BUMN.
Diantara tiga metode privatisasi BUMN yang sering digunakan seperti yang telah dikemukakan di atas, yang dianggap relatif sesuai dengan kondisi BUMN dewasa ini adalah penawaran saham BUMN kepada umum dan pembelian BUMN oleh manajemen atau karyawan. Pasalnya, dengan metode penjualan saham BUMN kepada pihak swasta tertentu berarti akan ada pemusatan kepemilikan pada satu atau sekelompok pihak  swasta saja. Hal ini kurang sesuai dengan jiwa demokrasi ekonomi yang menghendaki pemerataan kesejahteraaan. Selain itu, pemusatan kepemilikan pada satu atau sekelompok pihak atas BUMN akan sangat berbahaya jika pihak yang bersangkutan mengeksploitisir BUMN untuk kepentingan keuntungan semata.
Dengan penawaran saham BUMN kepada umum, maka kepemilikan BUMN akan jatuh ke tangan rakyat. Hal ini sesuai dengan jiwa demokrasi ekonomi. Karena dengan demikian, maka akan dapat dicapai pemerataan kesejahteraan kepada rakyat Indonesia melalui pemerataan saham pada publik. Sedangkan dengan pembelian BUMN oleh manajemen atau karyawan, pemerataan pun dapat dicapai. Akan tetapi, pemerataan kepemilikan hanya akan terjadi pada karyawan dan manajemen BUMN. Namun cara ini masih dianggap lebih baik daripada kepemilikan BUMN jatuh ke tangan pihak asing.
Prinsip awal privatisasi air sebenarnya tidak jelek-jelek amat. Ia hadir sebagai upaya memperpanjang tangan pemerintah memperbaiki layanan distribusi air bersih bagi rakyat. Namun dari 2004 hingga 2008, untuk Jakarta saja masih ada 36 persen penduduk yang tak terlayani pipa Perusahaan Air Minum (PAM). Sebagian sisanya, menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), harus bergulat dengan kualitas air yang kotor. Sementara tarif justru naik 10 kali lipat. Nah loh, mengapa privatisasi air Indonesia jadi begini.
Air di negeri ini sudah lama bukan milik rakyatnya lagi. Adagium itu mungkin terdengar kejam, tapi memang Indonesia telah lama menyerahkan urusan pelayanan airnya ke kantong pihak swasta asing. Terhitung sejak 2004, negeri ini resmi tercatat sebagai salah satu negara di Asia Tenggara yang mengalami privatisasi air terbesar. Praktek privatisasi air tersebut kemudian berujung kepada kenaikan tarif air 10 kali lebih tinggi dan munculnya berbagai kerusuhan sosial akibat mata air masyarakat lokal “dipagari” perusahaan air minum internasional.
Buenaventura B. Dargantes dari Institute for Strategic Reseach and Development Studies, Universitas Visayas, Filipina menguak kisah privatisasi air yang salah kaprah di Asia Tenggara. Kacaunya jualan hak layanan air ke swasta ini terutama terjadi di Indonesia, Filipina dan Malaysia.“Seharusnya privatisasi air itu justru untuk membantu pemerintah meningkatkan pelayanan air bersih ke rakyat, karena banyak pemerintah negara berkembang yang belum sanggup melakukannya sendiri,” kata Dargantes.
Demikian, Dargantes menyatakan seharusnya privatisasi layanan jasa air itu tetap melibatkan saham publik komunitas setempat di dalamnya. Baik itu dalam sistem patner dengan swasta atau dengan pemerintah. Selain bagi-bagi saham, privatisasi air ini juga bisa dilakukan dengan cara membangun sumber-sumber air yang dikelola komunitas setempat. Semua alternatif ini agar privatisasinya tidak kebablasan jadi usaha jualan air buat profit semata.
Universitas Visayas mencatat Regional Asia Tenggara memang memiliki layanan air bersih yang terburuk di Asia. Bahkan lebih buruk daripada Asia Selatan di mana negara-negara konflik seperti Afghanistan dan Pakistan bergabung. Secara rata-rata, 62 ribu koneksi air bersih di regional ini hanya mampu melayani 243.046 orang.
Buruknya layanan air bersih ini juga berarti buruk bagi pembangunan bangsa. Paling tidak itu yang ditekankan oleh Bank Dunia, Asia Development Bank beserta kroni-kroninya. Mereka menjadikan akses penduduk ke air bersih sebagai salah satu indeks penentu kemajuan suatu negara lewat ukuran Millenium Development Goals (MDGs). Kurang akses ke air bersih, berarti pembangunan negara yang bersangkutan dianggap kurang berhasil. Imbasnya tentu saja, Bank Dunia dan teman-teman akan pikir dua kali saat akan memperpanjang pinjamannya.
Nah, di sini salah kaprah berawal. Koalisi Rakyat untuk Hak Air (KruHA) menggugat lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia sebagai biang keladi maraknya lembaga-lembaga privatisasi air di Indonesia. Saat krisis Asia pada 1997, Bank Dunia, ADB dan International Monetary Fund (IMF) dianggap mulai masuk berperan memarakkan privatisasi air di Indonesia. Peranannya tentu saja lewat pinjaman-pinjaman lunak tapi bersyarat.
Pada Juni 1998 Bank Dunia mengeluarkan pinjaman US $ 1 miliar, yang segera disusul lagi dengan pinjaman sesi kedua sebesar US $ 500 juta. Yang jadi masalah, salah satu pasal perjanjian Matrix of Policy Actions itu turut memaparkan rencana-rencana memperbaiki pengelolaan sumber daya air di Indonesia. Salah satunya lewat privatisasi air. Bahkan untuk meyakinkan Bank Dunia bahwa pinjaman mereka dilaksanakan sebagaimana yang diinginkan, Pemerintah Indonesia di bawah supervisi Bank Dunia membentuk Satuan Tugas WATSAL. Satuan Tugas ini  fungsi utamanya mendata masalah-masalah regulasi manajemen air di Indonesia dan mengusulkan reformasi peraturannya.
Hasilnya, pada 2004 Pemerintah Indonesia mengeluarkan sebuah undang-undang baru tentang pengelolaan air di negeri ini, yaitu UU Sumber Daya Air No 7 Tahun 2004.“Undang-undang itu secara jelas mengubah paradigma Pemerintah Indonesia yang menjadikan air sebagai komoditas ekonomi dan bukan sebagai hak asasi manusia penduduk Indonesia,” kata Hamong Santono dari KruHa.
Berdasarkan undang-undang itulah, privatisasi air di Indonesia dilegalkan. Undang-undang ini mengubah peranan pemerintah dari penyedia air bagi rakyat Indonesia, menjadi sekedar fasilitator. Ini berarti tak ada lagi keharusan bagi pemerintah untuk menyediakan air bersih langsung ke rakyatnya. Fasilitator juga berarti Pemerintah Indonesia dapat menjual hak layanan air bersih itu ke perusahaan-perusahaan swasta, agar mereka selanjutnya berperan sebagai penyedia air itu sendiri. Selain itu, UU No 7 Tahun 2004 ini juga menegaskan adanya desentralisasi kewenangan, yang membuka kesempatan bagi perusahaan-perusahaan jasa air berhubungan langsung dengan Pemerintah Daerah setempat tanpa harus pusing-pusing lagi ke pusat.
Walhasil kini Indonesia telah punya tak kurang dari 30 proyek privatisasi air di seluruh Indonesia, yang sebagian besar ada di Jakarta dan Batam. Pemerintah pusat dan daerah juga tetap menawarkan jasa layanan air mereka ke swasta seperti yang terjadi di Pontianak, Semarang, Jatigede. Selain itu, bentuk privatisasi air juga mulai merambah tak hanya di sektor air keran, tapi juga mulai ke komoditas air mineral botol. Perusahaan-perusahaan asing seperti Suez, Thames dan Danone yang adalah pemain raksasa industri air dunia yang tercatat telah menikmati pasar jualan air di nusantara.
Kondisi tersebut secara bersamaan mulai menimbulkan gerakan-gerakan sosial di berbagai tempat. Organisasi nirlaba seperti KruHa bersama penduduk Jakarta, Sukabumi, Serang, Karang Anyar, Pati, Magelang, Kebumen, Pasuruan, Riau dan Bekasi mulai menggelar demonstrasi massa menolak privatisasi air. Kampanye air bersih ini diusung berdasarkan tuntutan bahwa hak akses terhadap air adalah bagian dari hak asasi manusia.“Selain itu kami juga menuntut pemerintah untuk menghentikan privatisasi air di Indonesia dan meminta peranan pemerintah yang lebih besar untuk menyediakan air bagi penduduk Indonesia,” kata Hamong. Semuanya sebagai upaya mengembalikan privatisasi air di Indonesia agar tak salah kaprah lagi. (Veby Mega Indah).















                                                       

DAFTAR PUSTAKA
http://lubis43.blogspot.com/2015/09/dampak-privatisasi-badan-usaha-milik.html
Buku Barisan Penyelamat Aset Bangsa, Kejahatan Terhadap Aset Bangsa, Kasus Divestasi Indosat, Jakarta, June 2003.
Ais, Chatamarrasjid. Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing The Corporate Veil) Kapita Selekta Hukum Perusahaan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000.
Hartono, Sunaryati. Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bandung: Bina Cipta, 1988. -----------------------, Politik Hukum Menuju Sistim Hukum Nasional, Bandung: Alumni, 1991.
Kusumaatmadja, Muchtar. Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Bandung: Alumni, 2002


Previous Post
Next Post

0 komentar: