MAKALAH
PRIVATISASI
1.
Pengertian
Privatisasi
Beberapa pakar bahkan mendefinisi privatisasi dalam arti
luas, seperti J.A. Kay dan D.J. Thomson sebagai “…means of changing
relationship between the government and private sector”. Mereka
mendefinisikan privatisasi sebagai cara untuk mengubah hubungan antara pemerintah
dan sektor swasta. Sedangkan pengertian privatisasi dalam arti yang lebih
sempit dikemukakan oleh C. Pas, B. Lowes, dan L. Davies yang mengertikan
privatisasi sebagai denasionalisasi suatu industri, mengubahnya dari
kepemilikan pemerintah menjadi kepemilikan swasta.
Istilah privatisasi sering diartikan sebagai pemindahan
kepemilikan industri dari pemerintah ke sektor swasta yang berimplikasi kepada
dominasi kepemilikan saham akan berpindah ke pemegang saham swasta. Privatisasi
adalah suatu terminologi yang mencakup perubahan hubungan antara pemerintah
dengan sektor swasta, dimana perubahan yang paling signifikan adalah adanya
disnasionalisasi penjualan kepemilikan publik.
Dari berbagai definisi di atas, dapat diperoleh pengertian
bahwa privatisasi adalah pengalihan aset yang sebelumnya dikuasai oleh negara
menjadi milik swasta. Pengertian ini sesuai dengan yang termaktub dalam
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN, yaitu penjualan saham persero,
baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan
kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat,
serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat.
2. Tujuan Privatisasi
a)
Dari Segi Keuangan
Privatisasi ditujukan untuk meningkatkan
penghasilan pemerintah terutama berkaitan dengan tingkat perpajakan dan
pengeluaran publik; mendorong keuangan swasta untuk ditempatkan dalam investasi
publik dalam skema infrastruktur utama; menghapus jasa-jasa dari kontrol
keuangan sektor publik.
b) Dari Segi Pembenahan Internal Manajemen (jasa dan
organisasi)
Ø
Meningkatkan efisiensi
dan produktivitas;
Ø Mengurangi peran negara dalam pembuatan keputusan;
Ø Mendorong penetapan harga komersial, organisasi yang
berorientasi pada keuntungan dan perilaku bisnis yang menguntungkan;
Ø Meningkatkan pilihan bagi konsumen.
c) Dari Segi Ekonomi
Ø Memperluas kekuatan pasar dan
meningkatkan persaingan;
Ø Mengurangi ukuran sektor
publik dan membuka pasar baru untuk modal swasta.
d) Dari Segi Politik
1.
Mengendalikan kekuatan asosiasi/perkumpulan bidang usaha bisnis tertentu
dan memperbaiki pasar tenaga kerja agar lebih fleksibel;
2.
Mendorong kepemilikan saham untuk individu dan karyawan serta memperluas
kepemilikan kekayaan;
3.
Memperoleh dukungan politik dengan memenuhi permintaan industri dan
menciptakan kesempatan lebih banyak akumulasi modal spekulasi;
4.
Meningkatkan
kemandirian dan individualisme.
Adapun tujuan pelaksanaan privatisasi
sebagaimana tercantum dalam Pasal 74
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN adalah meningkatkan kinerja
dan nilai tambah perusahaan serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam
pemilikan saham Persero. Penerbitan peraturan perundangan tentang BUMN
dimaksudkan untuk memperjelas landasan hukum dan menjadi pedoman bagi berbagai
pemangku kepentingan yang terkait serta sekaligus merupakan upaya untuk
meningkatkan kinerja dan produktivitas BUMN.
Privatisasi bukan semata-mata kebijakan final,
namun merupakan suatu metode regulasi untuk mengatur aktivitas ekonomi sesuai
mekanisme pasar. Kebijakan privatisasi dianggap dapat membantu pemerintah dalam
menopang penerimaan negara dan menutupi defisit APBN sekaligus menjadikan BUMN
lebih efisien dan profitable dengan melibatkan pihak swasta di
dalam pengelolaannya sehingga membuka pintu bagi persaingan yang sehat dalam
perekonomian.
3.
Metode
Privatisasi
a)
Penawaran
saham BUMN kepada umum (public
offering of shares).
Penawaran ini dapat
dilakukan secara parsial maupun secara penuh. Di dalam transaksi ini,
pemerintah menjual sebagian atau seluruh saham kepemilikannya atas BUMN yang
diasumsikan akan tetap beroperasi dan menjadi perusahaan publik. Seandainya
pemerintah hanya menjual sebagian sahamnya, maka status BUMN itu berubah
menjadi perusahaan patungan pemerintah dan swasta. Pendekatan semacam ini
dilakukan oleh pemerintah agar mereka masih dapat mengawasi keadaan manajemen
BUMN patungan tersebut sebelum kelak diserahkan sepenuhnya kepada swasta.
b)
Penjualan
saham BUMN kepada pihak swasta tertentu (private sale of share).
Di dalam transaksi ini, pemerintah menjual seluruh ataupun
sebagian saham kepemilikannya di BUMN kepada pembeli tunggal yang telah
diidentifikasikan atau kepada pembeli dalam bentuk kelompok tertentu.
Privatisasi dapat dilakukan penuh atau secara sebagian dengan kepemilikan
campuran. Transaksinya dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti akuisisi
langsung oleh perusahaan lain atau ditawarkan kepada kelompok tertentu. Cara
ini juga sering disebut sebagai penjualan strategis (strategic sale)
dan pembelinya disebut invenstor strategis.
c) Penjualan aktiva BUMN kepada swasta (sale of government organization state-owned enterprise
assets).
Pada metode ini, pada dasarnya transaksi adalah penjualan
aktiva, bukan penjualan perusahaan dalam keadaan tetap beroperasi. Biasanya
jika tujuannya adalah untuk memisahkan aktiva untuk kegiatan tertentu,
penjualan aktiva secara terpisah hanya alat untuk penjualan perusahaan secara
keseluruhan.
d) Penambahan investasi baru dari sektor swasta ke dalam BUMN
(new private investment in an
state-owned enterprise assets).
Pada metode ini, pemerintah dapat menambah modal pada BUMN
untuk keperluan rehabilitasi atau ekspansi dengan memberikan kesempatan kepada
sektor swasta untuk menambah modal. Dalam metode ini, pemerintah sama sekali
tidak melepas kepemilikannya, tetapi dengan tambahan modal swasta, maka
kepemilikan pemerintah mengalami dilusi (pengikisan). Dengan demikian, BUMN itu berubah
menjadi perusahaan patungan swasta dengan pemerintah. Apabila pemilik saham
mayoritasnya adalah swasta, maka BUMN itu telah berubah statusnya menjadi milik
swasta.
e) Pembelian BUMN oleh manajemen atau karyawan (management/employee buy out).
Metode ini dilakukan dengan memberikan hak kepada manajemen
atau karyawan perusahaan untuk mengambil alih kekuasaan atau pengendalian
perusahaan. Keadaan ini biasanya terkait dengan perusahaan yang semestinya
dapat efektif dikelola oleh sebuah manjemen, namun karena campur tangan
pemerintah membuat kinerja tidak optimal.
Dari beberapa cara tersebut, UU Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN di dalam pasal 78 hanya
membolehkan tiga cara dalam privatisasi yakni :
ü Penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal.
ü Penjualan saham langsung
kepada investor.
ü Penjualan saham kepada
manajemen dan/atau karyawan yang bersangkutan.
4. Pro-Kontra Mengenai
Privatisasi
Sebagai sebuah kebijakan yang
menyangkut kepentingan publik, program privatisasi masih disikapi secara pro
dan kontra. Berikut ini akan diuraikan mengenai alasan-alasan yang menyebabkan
terjadinya pro dan kontra tersebut.
5. Alasan-Alasan Yang Mendukung
Privatisasi
a) Peningkatan efisiensi, kinerja dan produktivitas
perusahaan yang diprivatisasi
BUMN sering dilihat sebagai sosok unit pekerja yang tidak
efisien, boros, tidak professional dengan kinerja yang tidak optimal, dan
penilaian-penilaian negatif lainnya. Beberapa faktor yang sering dianggap sebagai
penyebabnya adalah kurangnya atau bahkan tidak adanya persaingan di pasar
produk sebagai akibat proteksi pemerintah atau hak monopoli yang dimiliki oleh
BUMN. tidak adanya persaingan ini mengakibatkan rendahnya efisiensi BUMN.
Hal ini akan berbeda jika perusahaan itu diprivatisasi dan
pada saat yang bersamaan didukung dengan peningkatan persaingan efektif di
sektor yang bersangkutan, semisal meniadakan proteksi perusahaan yang
diprivatisasi. Dengan
adanya disiplin persaingan pasar akan memaksa perusahaan untuk lebih efisien.
Pembebasan kendali dari
pemerintah juga memungkinkan perusahaan tersebut lebih kompetitif untuk
menghasilkan produk dan jasa bahkan dengan kualitas yang lebih baik dan sesuai
dengan konsumen. Selanjutnya akan membuat penggunaan sumber daya lebih efisien
dan meningkatkan output ekonomi secara keseluruhan.
b) Mendorong perkembangan pasar modal
Privatisasi yang berarti
menjual perusahaan negara kepada swasta dapat membantu terciptanya perluasan
kepemilikan saham, sehingga diharapkan akan berimplikasi pada perbaikan
distribusi pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Privatisasi juga dapat mendorong
perusahaan baru yang masuk ke pasar modal dan reksadana. Selain itu,
privatisasi BUMN dan infrastruktur ekonomi dapat mengurangi defisit dan tekanan
inflasi yang selanjutnya mendukung perkembangan pasar modal.
c) Meningkatkan pendapatan baru bagi pemerintah
Secara umum, privatisasi dapat
mendatangkan pemasukan bagi pemerintah yang berasal dari penjualan saham BUMN.
Selain itu, privatisasi dapat mengurangi subsidi pemerintah yang ditujukan
kepada BUMN yang bersangkutan. Juga dapat meningkatkan penerimaan pajak dari
perusahaan yang beroperasi lebih produktif dengan laba yang lebih tinggi.
Dengan demikian, privatisasi dapat menolong untuk menjaga keseimbangan anggaran
pemerintah sekaligus mengatasi tekanan inflasi.
6. Alasan-Alasan Yang Menolak
Program Privatisasi
Beberapa alasan yang diajukan
oleh pihak yang mendukung program privatisasi sebagaimana telah dipaparkan di
atas, dinilai tidak tepat oleh pihak-pihak yang kontra. Alasan bahwa
privatisasi bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan kinerja perusahaan yang
diprivatisasi dianggap tidak sesuai dengan fakta. Sebab jika itu yang menjadi
motifnya, maka seharusnya yang diprivatisasi adalah perusahaan-perusahaan yang
tidak efisien, produktivitasnya rendah dan kinerjanya payah. Sehingga dengan
diprivatisasi, diharapkan perusahaan tersebut berubah menjadi lebih efisien,
produktivitasnya meningkat, dan kinerjanya menjadi lebih bagus. Padahal, pada
kenyatannya yang diprivatisasi adalah perusahaan yang sehat dan efisien. Jika
ada perusahaan negara yang merugi dan tidak efisien, biasanya disehatkan
terlebih dahulu sehingga menjadi sehat dan mencapai profit, dan setelah itu
baru kemudian dijual.
Alasan untuk meningkatkan
pendapatan negara juga tidak bisa diterima. Memang ketika terjadi penjualan
aset-aset BUMN itu negara mendapatkan pemasukan. Namun sebagaimana layaknya penjualan, penerimaan pendapatan itu diiringi
dengan kehilangan pemilikan aset-aset tersebut. Ini berarti negara akan
kehilangan salah satu sumber pendapatannya. Akan menjadi lebih berbahaya jika
ternyata pembelinya dari perusahaan asing. Meskipun pabriknya masih
berkedudukan di Indonesia, namun hak atas segala informasi dan bagian dari
modal menjadi milik perusahaan asing.
7.
Dampak
Privatisasi kebablasan di Indonesia
Hal ini terbatas pada keuntungan ekonomi dan politik.
Dengan pengalihan kepemilikan, salah satu alternatif yaitu dengan pelepasan
saham kepada rakyat dan karyawan BUMN yang bersangkutan dapat ikut melakukan
kontrol dan lebih memotivasi kerja para karyawan karena merasa ikut memilki dan
lebih semangat untuk berpartisipasi dalam rangka meningkatkan kinerja BUMN yang
sehat. Hal ini dapat berdampak pada peningkatan produktivitas karyawan yang berujung
pada kenaikan keuntungan.
Privatisasi BUMN di Indonesia mulai dicanangkan pemerintah
sejak tahun 1980-an. BUMN-BUMN yang
telah diprivatisasi seperti PT. Telkom (Persero) Tbk., PT. Perusahaan Gas
Negara (Persero) Tbk., PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk., PT. Bank BNI 46
(Persero) Tbk., PT. Indosat (Persero) Tbk., PT. Aneka Tambang (Persero) Tbk.,
dan PT. Semen Gresik (Persero) Tbk., ternyata mampu membrikan kontribusi yang
signifikan terhadap likuiditas dan pergerakan pasar modal.[16] Kondisi ini membuat semakin
kuatnya dorongan untuk melakukan privatisasi secara lebih luas kepada BUMN-BUMN
lainnya. Namun demikian, diketahui pula bahwa terdapat beberapa BUMN yang tidak
menunjukkan perbaikan kinerja terutama 2-3 tahun pertama setelah diprivatisasi,
misalkan pada PT. Indofarma (Persero) Tbk. dan PT. Kimia Farma (Persero) Tbk.
Dimana target privatisasi BUMN masih belum tercapai sepenuhnya.
8.
Kondisi
Ideal Untuk Melakukan Privatisasi di Indonesia
Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945
ayat (1), maka sistem ekonomi yang dianut Indonesia adalah sistem ekonomi yang
berdasar atas asas kekeluargaan. Konsep sistem ekonomi yang demikian di
Indonesia disebut sebagai konsep Demokrasi Ekonomi. Mubyarto menyebutkan bahwa
dalam konsep demokrasi ekonomi, sistem ekonomi tidak diatur oleh negara melalui
perencanaan sentral (sosialisme), akan tetapi dilaksanakan oleh, dari, dan
untuk rakyat. Demokrasi ekonomi mengutamakan terwujudnya kemakmuran
masyarakat (bersama) bukan kemakmuran individu-individu. Demokrasi ekonomi
mengartikan masyarakat harus ikut dalam seluruh proses produksi dan turut
menikmati hasil-hasil produksi yang dijalankan di Indonesia.
Praktik privatisasi BUMN yang
belakangan marak dilakukan oleh pemerintah Indonesia dianggap sebagai jalan
keluar yang paling baik untuk melaksanakan amanat demokrasi ekonomi untuk
menyehatkan BUMN-BUMN di Indonesia dalam rangka peningkatan dan pemerataan
kesejahteraan rakyat. Pada beberapa BUMN, ada yang diprivatisasi oleh pihak
asing, bahkan dalam jumlah kepemilikan saham yang cukup signfikan.Privatisasi
BUMN kepada pihak asing ini dinilai “menggadaikan” nasionalisme Indonesia.
Selain itu, BUMN tidak lain adalah pihak yang diberikan wewenang khusus untuk
mengelola sumber daya vital yang meemgang hajat hidup orang banyak. Menurut
Pasal 33 UUD 1945, sumber daya yang seperti demikian itu harus dikelola oleh
negara.
Dilihat dari sudut pandang
Pasal 33 UUD 1945, tampak bahwa sebenarnya privatisasi BUMN kepada pihak asing
agak kontradiktif dengan jiwa pasal ini. Pihak asing yang bersangkutan jelas
bertindak atas nama swasta yang tentu saja bertindak dengan didorong oleh
maksud dan motif hanya untuk mencari keuntungan yang maksimal. Jika demikian
yang terjadi, BUMN yang diprivatisasi kepada pihak asing hanya akan menjadi
keuntungan bagi pihak asing, sehingga dapat dikatakan manfaatnya akan berpindah
kepada pihak asing, bukannya ke rakyat Indonesia.
Diantara sekian banyak
alternatif metode privatisasi, yang paling sering digunakan antara lain adalah
penawaran saham BUMN kepada umum (public offering of shares) yaitu
privatisasi dengan melakukan penjualan saham kepada pihak swasta melalui pasar
modal, penjualan saham BUMN kepada pihak swasta tertentu (private sale of
share) yaitu penjualan saham BUMN kepada satu atau sekelompok investor
swasta, dan melalui pembelian BUMN oleh manajemen atau karyawan (management/employee
buy out) yaitu
penjualan saham BUMN kepada pihak karyawan atau manajemen BUMN.
Pilihan model privatisasi mana
yang sesuai dengan iklim perekonomian, politik dan sosial budaya Indonesia
haruslah mempertimbangkan faktor-faktor :
·
Ukuran nilai
privatisasi ;
·
Kondisi kesehatan keuangan tiga tahun terakhir ;
·
Waktu yang tersedia
bagi BUMN untuk melakukan privatisasi ;
·
Ko ndisi pasar ;
·
Status perusahaan,
apakah telah go public atau belum ; dan
·
Rencana jangka panjang
masing-masing BUMN.
Diantara tiga metode
privatisasi BUMN yang sering digunakan seperti yang telah dikemukakan di atas,
yang dianggap relatif sesuai dengan kondisi BUMN dewasa ini adalah penawaran
saham BUMN kepada umum dan pembelian BUMN oleh manajemen atau karyawan. Pasalnya, dengan metode penjualan
saham BUMN kepada pihak swasta tertentu berarti akan ada pemusatan kepemilikan
pada satu atau sekelompok pihak swasta saja. Hal ini kurang sesuai dengan jiwa
demokrasi ekonomi yang menghendaki pemerataan kesejahteraaan. Selain itu,
pemusatan kepemilikan pada satu atau sekelompok pihak atas BUMN akan sangat
berbahaya jika pihak yang bersangkutan mengeksploitisir BUMN untuk kepentingan
keuntungan semata.
Dengan
penawaran saham BUMN kepada umum, maka kepemilikan BUMN akan jatuh ke tangan
rakyat. Hal ini sesuai dengan jiwa demokrasi ekonomi. Karena dengan demikian,
maka akan dapat dicapai pemerataan kesejahteraan kepada rakyat Indonesia
melalui pemerataan saham pada publik. Sedangkan dengan pembelian BUMN oleh
manajemen atau karyawan, pemerataan pun dapat dicapai. Akan tetapi, pemerataan
kepemilikan hanya akan terjadi pada karyawan dan manajemen BUMN. Namun cara ini
masih dianggap lebih baik daripada kepemilikan BUMN jatuh ke tangan pihak
asing.
Prinsip
awal privatisasi air sebenarnya tidak jelek-jelek amat. Ia hadir sebagai upaya
memperpanjang tangan pemerintah memperbaiki layanan distribusi air bersih bagi
rakyat. Namun dari 2004 hingga 2008, untuk Jakarta saja masih ada 36 persen
penduduk yang tak terlayani pipa Perusahaan Air Minum (PAM). Sebagian sisanya,
menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), harus bergulat dengan
kualitas air yang kotor. Sementara tarif justru naik 10 kali lipat. Nah loh,
mengapa privatisasi air Indonesia jadi begini.
Air
di negeri ini sudah lama bukan milik rakyatnya lagi. Adagium itu mungkin
terdengar kejam, tapi memang Indonesia telah lama menyerahkan urusan pelayanan
airnya ke kantong pihak swasta asing. Terhitung sejak 2004, negeri ini resmi
tercatat sebagai salah satu negara di Asia Tenggara yang mengalami privatisasi
air terbesar. Praktek privatisasi air tersebut kemudian berujung kepada
kenaikan tarif air 10 kali lebih tinggi dan munculnya berbagai kerusuhan sosial
akibat mata air masyarakat lokal “dipagari” perusahaan air minum internasional.
Buenaventura
B. Dargantes dari Institute for Strategic Reseach and Development Studies,
Universitas Visayas, Filipina menguak kisah privatisasi air yang salah kaprah
di Asia Tenggara. Kacaunya jualan hak layanan air ke swasta ini terutama
terjadi di Indonesia, Filipina dan Malaysia.“Seharusnya privatisasi air itu
justru untuk membantu pemerintah meningkatkan pelayanan air bersih ke rakyat,
karena banyak pemerintah negara berkembang yang belum sanggup melakukannya
sendiri,” kata Dargantes.
Demikian,
Dargantes menyatakan seharusnya privatisasi layanan jasa air itu tetap
melibatkan saham publik komunitas setempat di dalamnya. Baik itu dalam sistem
patner dengan swasta atau dengan pemerintah. Selain bagi-bagi saham,
privatisasi air ini juga bisa dilakukan dengan cara membangun sumber-sumber air
yang dikelola komunitas setempat. Semua alternatif ini agar privatisasinya
tidak kebablasan jadi usaha jualan air buat profit semata.
Universitas
Visayas mencatat Regional Asia Tenggara memang memiliki layanan air bersih yang
terburuk di Asia. Bahkan lebih buruk daripada Asia Selatan di mana
negara-negara konflik seperti Afghanistan dan Pakistan bergabung. Secara
rata-rata, 62 ribu koneksi air bersih di regional ini hanya mampu melayani 243.046
orang.
Buruknya
layanan air bersih ini juga berarti buruk bagi pembangunan bangsa. Paling tidak
itu yang ditekankan oleh Bank Dunia, Asia Development Bank beserta
kroni-kroninya. Mereka menjadikan akses penduduk ke air bersih sebagai salah
satu indeks penentu kemajuan suatu negara lewat ukuran Millenium Development
Goals (MDGs). Kurang akses ke air bersih, berarti pembangunan negara yang
bersangkutan dianggap kurang berhasil. Imbasnya tentu saja, Bank Dunia dan
teman-teman akan pikir dua kali saat akan memperpanjang pinjamannya.
Nah,
di sini salah kaprah berawal. Koalisi Rakyat untuk Hak Air (KruHA) menggugat
lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia sebagai biang keladi
maraknya lembaga-lembaga privatisasi air di Indonesia. Saat krisis Asia pada
1997, Bank Dunia, ADB dan International Monetary Fund (IMF) dianggap mulai
masuk berperan memarakkan privatisasi air di Indonesia. Peranannya tentu saja
lewat pinjaman-pinjaman lunak tapi bersyarat.
Pada Juni 1998 Bank
Dunia mengeluarkan pinjaman US $ 1 miliar, yang segera disusul lagi dengan
pinjaman sesi kedua sebesar US $ 500 juta. Yang jadi masalah, salah satu pasal
perjanjian Matrix of Policy Actions itu turut memaparkan rencana-rencana
memperbaiki pengelolaan sumber daya air di Indonesia. Salah satunya lewat
privatisasi air. Bahkan untuk meyakinkan Bank Dunia bahwa pinjaman mereka
dilaksanakan sebagaimana yang diinginkan, Pemerintah Indonesia di bawah
supervisi Bank Dunia membentuk Satuan Tugas WATSAL. Satuan Tugas ini
fungsi utamanya mendata masalah-masalah regulasi manajemen air di Indonesia dan
mengusulkan reformasi peraturannya.
Hasilnya,
pada 2004 Pemerintah Indonesia mengeluarkan sebuah undang-undang baru tentang
pengelolaan air di negeri ini, yaitu UU Sumber Daya Air No 7 Tahun 2004.“Undang-undang
itu secara jelas mengubah paradigma Pemerintah Indonesia yang menjadikan air
sebagai komoditas ekonomi dan bukan sebagai hak asasi manusia penduduk
Indonesia,” kata Hamong Santono dari KruHa.
Berdasarkan
undang-undang itulah, privatisasi air di Indonesia dilegalkan. Undang-undang
ini mengubah peranan pemerintah dari penyedia air bagi rakyat Indonesia,
menjadi sekedar fasilitator. Ini berarti tak ada lagi keharusan bagi pemerintah
untuk menyediakan air bersih langsung ke rakyatnya. Fasilitator juga berarti
Pemerintah Indonesia dapat menjual hak layanan air bersih itu ke
perusahaan-perusahaan swasta, agar mereka selanjutnya berperan sebagai penyedia
air itu sendiri. Selain itu, UU No 7 Tahun 2004 ini juga menegaskan adanya
desentralisasi kewenangan, yang membuka kesempatan bagi perusahaan-perusahaan
jasa air berhubungan langsung dengan Pemerintah Daerah setempat tanpa harus
pusing-pusing lagi ke pusat.
Walhasil
kini Indonesia telah punya tak kurang dari 30 proyek privatisasi air di seluruh
Indonesia, yang sebagian besar ada di Jakarta dan Batam. Pemerintah pusat dan
daerah juga tetap menawarkan jasa layanan air mereka ke swasta seperti yang
terjadi di Pontianak, Semarang, Jatigede. Selain itu, bentuk privatisasi air
juga mulai merambah tak hanya di sektor air keran, tapi juga mulai ke komoditas
air mineral botol. Perusahaan-perusahaan asing seperti Suez, Thames dan Danone
yang adalah pemain raksasa industri air dunia yang tercatat telah menikmati
pasar jualan air di nusantara.
Kondisi
tersebut secara bersamaan mulai menimbulkan gerakan-gerakan sosial di berbagai
tempat. Organisasi nirlaba seperti KruHa bersama penduduk Jakarta, Sukabumi,
Serang, Karang Anyar, Pati, Magelang, Kebumen, Pasuruan, Riau dan Bekasi mulai
menggelar demonstrasi massa menolak privatisasi air. Kampanye air bersih ini
diusung berdasarkan tuntutan bahwa hak akses terhadap air adalah bagian dari
hak asasi manusia.“Selain itu kami juga menuntut pemerintah untuk menghentikan
privatisasi air di Indonesia dan meminta peranan pemerintah yang lebih besar
untuk menyediakan air bagi penduduk Indonesia,” kata Hamong. Semuanya sebagai
upaya mengembalikan privatisasi air di Indonesia agar tak salah kaprah lagi.
(Veby Mega Indah).
DAFTAR PUSTAKA
http://lubis43.blogspot.com/2015/09/dampak-privatisasi-badan-usaha-milik.html
Buku
Barisan Penyelamat Aset Bangsa, Kejahatan Terhadap Aset Bangsa, Kasus Divestasi
Indosat, Jakarta, June 2003.
Ais,
Chatamarrasjid. Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing The Corporate Veil) Kapita
Selekta Hukum Perusahaan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000.
Hartono,
Sunaryati. Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bandung: Bina Cipta, 1988.
-----------------------, Politik Hukum Menuju Sistim Hukum Nasional, Bandung:
Alumni, 1991.
Kusumaatmadja,
Muchtar. Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Bandung: Alumni, 2002
0 komentar: